Kamis, 24 Desember 2009

SELAMAT kepada Abu Nasibah

Alhamdulillah kemarin tepatnya 6 muharram 1431 / 23 Desember 2009 berita menggembirakan telah datang kepada kita yaitu lahirnya seorang  adek dari nasibah (anak dari Ustad Suardi salah satu steering comite TUMAPPIGORA) dengan jenis kelamin wanita,

Sabtu, 19 Desember 2009

Kegiatan DPC Malakaji


Kemarin Tepatnya hari jum'at 18-Desember-2009 dan bertepatan dengan 1 muharram 1431 DPC Malakaji mengadakan kajian yang Temanya "QUL HADZIHI SABILI" dan dengan judul inilah jalanku jalannya para Nabi dan Rasulullah Sallahu 'alaihi Wa sallam. Acara yang mengundang DPP ini dan Pemateri Ustad Suardi berlangsung dengan baik, walaupun waktu berlangsungnya tidak sesuai dengan waktu yang ditetapkan yang seharusnya ba'da jum'at (pukul 14:00 WITA) menjadi molor sekitar satu jam, tidak menyurutkan semangat para teman-teman yang berada disana.

Kesungguhan dari para peserta sudah terlihat dari awal yang begitu bersemangat mengikuti kajian tersebut, kata demi kata mereka sangat menyimaknya, pandangan yang tak pernah lepas dari pemateri dan selalu memfokuskan diri membuat acara tersebut semakin larut dalam kenikmatan, ketenangan sekaligus mengoreksi diri terhadap berbagai dosa-dosa yang telah dilakukannya. Mudah-mudahan dengan acara tersebut berkuranglah dosa-dosa mereka semua, amin

Selasa, 22 September 2009

Salahuddin Al Ayyubi - Kesatria Padang Pasir

Ada dua kesan yang menyebabkan Salahuddin dipandang sebagai kesatria sejati, baik oleh kawan maupun lawan. Pertama adalah soal kepiawaiannya dalam taktik pertempuran. Kedua tentang kesalehan dan kemurah hatiannya.

Bulan Juli 1192, sepasukan muslim menggerebek 12 tenda prajurit kristen, termasuk tenda kerajaan Raja Richard I, di luar benteng kota Jaffa. Richard yang terusik segera bangun dan bersiap bertempur. Pasukannya kalah jumlah, 1:4. Tak peduli, Richard berjalan kaki mengikuti pasukannya menyongsong musuh.

Salahuddin yang melihatnya, berguman dengan tenang pada saudaranya, al-Malik al-Adil, “Bagaimana mungkin seorang raja berjalan kaki bersama prajuritnya? Pergilah, ambil dua kuda Arab ini dan berikan padanya. Katakan padanya, aku yang mengirimkan untuknya. Seorang laki-laki sehebat dia tidak seharusnya berada di tempat ini dengan berjalan kaki.”

Fragmen di atas dicatat sejarawan kristen dan muslim sebagai salah satu pencapaian tertinggi Salahuddin Al Ayubi sebagai seorang ksatria. Walau berada di atas angin, dia tetap menginginkan pertempuran yang adil bagi setup musuhnya.

IBNU SINA (Abu Ali al-Husein Ibn Abdullah) Bapak Kedokteran Dunia

Syeikhur Rais, Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Sina atau Aviciena lahir pada tahun 370 hijriyah di sebuah desa bernama Khormeisan dekat Bukhara. Sejak masa kanak-kanak, Ibnu Sina yang berasal dari keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah akrab dengan pembahasan ilmiah terutama yang disampaikan oleh ayahnya. Kecerdasannya yang sangat tinggi membuatnya sangat menonjol sehingga salah seorang guru menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun ke dalam pekerjaan apapun selain belajar dan menimba ilmu.

Dengan demikian, Ibnu Sina secara penuh memberikan perhatiannya kepada aktivitas keilmuan. Kejeniusannya membuat ia cepat menguasai banyak ilmu, dan meski masih berusia muda, beliau sudah mahir dalam bidang kedokteran. Beliau pun menjadi terkenal, sehingga Raja Bukhara Nuh bin Mansur yang memerintah antara tahun 366 hingga 387 hijriyah saat jatuh sakit memanggil Ibnu Sina untuk merawat dan mengobatinya.

Rabu, 16 September 2009

Mencari Akhwat Yang Hilang

Duhai akhwat idaman, dimanakah kau kini berada? Aneh, mengapa kini aku terlalu sering menemukanmu dimana-mana, apakah kau tak lagi menjadi idaman para pengidam kesucian, tak lagi special, bak bidadari syurga yang hadir di bumi, tak pernah tersentuh jin dan manusia.

Tak kubayang, akhwatku hilang, tak lekang, dimakan jaman yang garang. Dulu kau tak terlihat, tapi aku tak perlu mencari-cari dirimu. Karena aku yakin kau ada, seperti keyakinanku beriman kepada yang ghoib. Semakin ghoib, semakin indah, semakin beriman. Wuih. Subahanallah....

Rabu, 02 September 2009

Buka Puasa

Bulan Ramadhan adalah bulan kebaikan dan keberkahan. Allah سبحانه وتعلى memberkahi hamba-hambaNya di bulan ini dengan banyak keutamaan dan diantara keutamaan yang Allah سبحانه وتعلى berikan bagi orang yang berpuasa adalah ketika ia berbuka puasa

Sholat Tarawih

Salah satu amalan yang dianjurkan pada bulan Ramadhan adalah shalat tarawih atau shalat lail. Allah سبحانه وتعلى berfirman:

Hai orang-orang berselimut, laksana-kanlah qiyamullail di malam hari kecuali sedikit dari padanya (QS. Al Muzzammil : 1 - 2)

DEFENISI
Shalat tarawih adalah shalat lail/ tahajjud yang dikerjakan pada bulan Ramadhan. Shalat lail mempunyai banyak nama yang disebutkan para ulama berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah, diantara-ya adalah Qiyamullail, shalat tahajjud, shalat witir, qiyam ramadhan dan shalat tarawih. Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar ketika menjelaskan perkataan Imam Al-Bukhari: Kitab Shalat At-Tarawih dalam kitab shahihnya, Dan At-Tarawih adalah bentuk jama dari Tarwihah yang berarti istirahat yang satu kali seperti salam yang satu kali dalam shalat.

Tidak didapatkan seorangpun dari ulama salaf yang mempermasalahkan penamaan/ istilah shalat tersebut ditinjau dari segi bahasa. Hal ini disebabkan kaedah yang dikenal diantara mereka (tidak ada pertentangan/ perdebatan dalam hal istilah). Karenanya sangat-lah mengherankan apabila ada orang di akhir zaman mencoba memperma-salahkan dan menggugat istilah shalat tarawih, padahal ulama dahulu telah menamakannya demikian Wallahul Mustaan.

Hukum Dan Fadhilah Shalat Tarawih
Shalat lail merupakan salah satu diantara shalat sunnah yang hukum-nya sunnah muakkadah yang sangat ditekankan untuk dilaksanakan, dan dia merupakan shalat sunnah yang paling afdhal. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
Shalat yang paling afdhal sesudah shalat wajib adalah shalat lail. (HR. Muslim)

Karena itu shalat lail pada bulan Ramadhan yang dikenal dengan shalat tarawih, lebih dianjurkan dan dikuatkan hukumnya dari bulan-bulan lainnya karena dikerjakan pada bulan yang paling afdhal. Abu Hurairah Rhadiyallahu Anhu berkata bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengan-jurkan (untuk melaksanakan) qiyam ramadhan namun Beliau tidak mewajibkan atas kaum muslimin, Beliau صلى الله عليه وسلم bersabda :
Barang siapa yang menegakkan qiyam ramadhan/ shalat tarawih dengan dasar iman dan ikhlas (mengharapkan pahala) maka diampuni baginya dosa yang telah lampau. (HR. Bukhari dan Muslim)

Disyariatkannya Shalat Tarawih Secara Berjamaah
Salah satu dalil khusus tentang keutamaan shalat tarawih dikerjakan secara berjamaah adalah qaul (per kataan) dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم sebagaimana yang disebutkan oleh hadits Abu Dzar Rhadiyallahu Anhu berkata: Kami telah berpuasa (pada bulan Ramadhan) dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم belum pernah shalat bersama kami, hingga tersisa tujuh malam dari bulan Ramadhan lalu Beliau shalat bersama kami hingga lewat sepertiga malam, kemudian Beliau tidak shalat bersama kami pada malam berikutnya dan Beliau shalat bersama kami pada saat lima malam terakhir pada bulan Ramadhan hingga lewat perte-ngahan malam, lalu kami berkata: Wahai Rasulullah seandainya engkau menambah (shalatmu) kepada kami dari sisa seperdua malam ini, maka Beliau bersabda:

Sesungguhnya barang siapa yang shalat bersama Imam hingga selesai maka di-catat baginya (seperti) dia shalat tarawih semalam penuh (HR. Abu Daud, Tirmi dzi, Nasai, Ibnu Majah, berkata Al Albany: Seluruh sanadnya shahih)
Dalil tadi menunjukkan kepada kita bahwa shalat tarawih afdhal dila-kukan secara berjamaah di masjid, adapun yang menyebabkan Rasulullah صلى الله عليه وسلم kadang meninggalkannya itu disebabkan kekhawatiran Beliau jika akan diwajibkan kepada ummatnya yang akan memberatkan mereka sebagaimana disebutkan dalam hadits:
Akan tetapi (yang menyebabkan saya tidak mengerjakan shalat tarawih ber-jamaah secara terus menerus) karena saya khawatir akan diwajibkan atas kalian shalat lail (secara berjamaah) lalu kalian tidak sanggup melaksanakan-nya (HR. Bukhari dan Muslim).

Waktu Shalat Tarawih
Waktu shalat tarawih/ lail adalah sesudah shalat Isya hingga terbit fajar.
Sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:

Sesungguhnya Allah سبحانه وتعلى menambah untuk kalian satu shalat yaitu witir, maka shalat witirlah antara (sesudah) shalat isya hingga (masuknya) shalat subuh. (HR. Ahmad).

Dan afdhalnya jika dikerjakan pada akhir malam namun jika terjadi masalah antara shalat di awal malam secara berjamaah ataukah shalat di akhir malam secara sendiri, maka shalat di awal malam secara ber-jamaah lebih afdhal, demikian pendapat Imam Ahmad Wallahu Alam.

Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
umlah rakaat shalat tarawih tidak ada batasannya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
Shalat lail itu dua rakaat, dua rakaat..." (HR. Bukhari dan Muslim) Namun afdhal dengan sebelas rakaat dengan tetap memperbanyak bacaan tiap rakaat dan jika tidak mampu, maka afdhal memperbanyak rakaat.

Aisyah Rhadiyallahu AnhuÇ berkata :
Adalah Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak pernah menambah di bulan Ramadhan dan bulan yang lainnya dari 11 rakaat (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun khabar dari Aisyah Rhadiyallahu Anha ini tidaklah merupakan batasan mak-simal shalat tarawih yang tidak boleh ditambah, karena khabar tersebut sekedar menceritakan tentang jumlah rakaat yang selalu dikerjakan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dan adalah Beliau صلى الله عليه وسلم jika me-ngerjakan suatu shalat selalu melaksa-nakannya secara dawam (kontinyu) sebagaimana yang disebutkan oleh Aisyah Rhadiyallahu Anha.

Dan Nabi صلى الله عليه وسلم sendiri tidak pernah membuat batasan tertentu tentang jumlah rakaat shalat tarawih, karena-nya tidak kita dapati dari kalangan ulama salaf yang membatasi jumlah rakaat. Berkata Imam Syafii : Saya mendapati penduduk Madinah melaksanakn sebanyak 39 rakaat, dan di Mekkah 23 rakaat dan tidak ada kesempitan (pembatasan) dalam hal tersebut (yaitu jumlah rakaat shalat tarawih)

Beberapa Kaifiyat Pelaksanaan Shalat Tarawih

1. Shalat sebanyak 13 rakaat dimulai dengan dua rakaat yang ringan kemudian dua rakaat yang panjang sekali kemudian dua rakaat yang lebih ringkas dari sebelumnya dan demikian seterusnya hingga jumlah 12 rakaat lalu witir.

2. Shalat 13 rakaat, dimulai dengan delapan rakaat dan bersalam setiap dua rakaat kemudian witir dengan 5 rakaat dan tidak duduk dan tidak pula salam kecuali pada rakaat ke-5.

3. Shalat sebanyak 11 rakaat ber-salam setiap dua rakaat kemudian witir dengan satu rakaat.

4. Shalat sebanyak 11 rakaat, mengerjakan 4 rakaat lalu salam kemudian 4 rakaat lalu salam kemudian witir dengan 3 rakaat.

5. Shalat sebanyak 11 rakaat yaitu mengerjakan 8 rakaat dengan tidak duduk kecuali pada rakaat ke-8 lalu membaca tasyahud dan shalawat kepada nabi صلى الله عليه وسلم kemudian berdiri tanpa salam lalu witir dengan satu rakaat kemudian salam maka jumlahnya sembilan lalu ditambah 2 rakaat dalam keadaan duduk.

6. Shalat sebanyak sembilan rakaat, yaitu enam rakaat dan tidak duduk kecuali pada rakaat ke-6 lalu membaca tasyahud dan membaca shalawat lalu berdiri tanpa salam lalu witir dengan satu rakaat kemudian salam, maka jumlahnya tujuh lalu ditambah dua rakaat dalam keadaan duduk.
Adapun witir yang dikerjakan dengan tiga rakaat, maka tidak boleh duduk pada rakaat ke dua lalu salam pada rakaat ke-3, karena cara tersebut sama dengan shalat Magrib, padahal nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

Dan jangan kalian serupakan (shalat witir) dengan shalat magrib�. (HR. Ath Thohawy)

karena itu barang siapa yang berwitir dengan tiga rakaat boleh dilakukan dengan dua cara:
1. Bersalam antara rakaat ke-2 dan rakaat ke-3.
2. Tidak duduk kecuali pada rakaat ke-3.

Adapun yang melaksanakannya lebih dari 11 atau 13 rakaat, maka caranya dua-dua rakaat lalu menutupnya dengan witir.

Jadi shalat tarawih boleh dikerjakan dengan berbagai cara seba-gaimana yang dicontohkan oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan cara yang paling umum adalah mengerjakannya dengan dua rakaat dua rakaat kemudian ditutup dengan witir.

Beberapa Hal Yang Berkaitan Dengan Witir
1. Bagi yang melaksanakan witir sebanyak tiga rakaat, maka sunnah baginya membaca surah Al Kafirun pada rakaat ke-2 dengan surah Al-Ikhlas pada rakaat ke-3 dan kadang menambah pada rakaat ke-3 dengan surah Al Falaq dan surah An Naas. Namun bacaan ini tidaklah wajib karena Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah membaca 100 ayat dari surah An Nisaa pada rakaat shalat witir.

2. Sunnah membaca Qunut pada rakaat terakhir dari shalat witir sebelum atau sesudah ruku dengan bacaan yang matsur (yang berdasar-kan dalil).

3. Termasuk sunnah membaca pada akhir witir sebelum/ sesudah salam, yang artinya:

Ya Allah sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan pemafaan-Mu dari siksa-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari diri-Mu, aku tidak (kuasa) menghitung pujian atas-Mu Engkau (Maha Terpuji) sebagaimana engkau pujikan atas diri-Mu. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albany) dan selesai salam hendaknya membaca:

Maha Suci Allah yang memiliki kerajaan Maha Suci, 3 kali. (HSR. Abu Daud dan Nasai)

membaca tiga kali dengan meman-jangkan suara serta meninggikannya pada bacaan yang ke-3 dan boleh menambah pada bacaan yang ke-3 dengan:

Tuhannya para malaikat dan Jibril" (HR. Ad Dharaquthny dan dishahih-kan sanadnya oleh Al Arnouth)

4. Bagi yang yang telah melaksanakan shalat witir pada awal malam kemu-dian terbangun pada akhirnya diboleh-kan baginya melaksanakan shalat namun hendaknya tidak mengulangi witir karena tidak ada dua witir dalam satu malam dan hendaknya shalat pada waktu malam jumlahnya ganjil. Wallahu Alam (Al Fikrah)
-Abu Naufal-
Dinukil dari Silsilah Ramadhan (1)
Shalat Tarawih (Qiyam Ramadhan) Oleh Muhammad Yusran Anshar, Lc.

Rabu, 05 Agustus 2009

Taubatnya 3 Wanita Syi’ah


Ditulis Oleh : Abu Hudzaifah Al Faruqy



Bismillahirrahmaanirrahiem, semoga shalawat dan salam tercurah atas Nabi dan Rasul termulia, junjungan kami Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.

Ya Allah, kepada-Mu kami berlindung, kepada-Mu kami memohon pertolongan dan kepada-Mu kami bertawakkal. Engkaulah Yang Memulai dan Mengulangi, Ya Allah kami berlindung dari kejahatan perbuatan kami dan minta tolong kepada-Mu untuk selalu menaati-Mu, dan kepada-Mu lah kami bertawakkal atas setiap urusan kami.

Semenjak lahir, yang kutahu dari akidahku hanyalah ghuluw (berlebihan) dalam mencintai Ahlul bait. Kami dahulu memohon pertolongan kepada mereka, bersumpah atas nama mereka dan kembali kepada mereka tiap menghadapi bencana. Aku dan kedua saudariku telah benar-benar meresapi akidah ini sejak kanak-kanak.

Kami memang berasal dari keluarga syi’ah asli. Kami tidak mengenal tentang mazhab ahlussunnah wal jama’ah kecuali bahwa mereka adalah musuh-musuh ahlulbait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Merekalah yang merampas kekhalifahan dari tangan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu, dan merekalah yang membunuh Husain.
Akidah ini semakin tertanam kuat dalam diri kami lewat hari-hari “Tahrim”, yaitu hari berkabung atas ahlul bait, demikian pula apa yang diucapkan oleh syaikh kami dalam perayaan Husainiyyah dan kaset-kaset ratapan yang memenuhi laciku.
Aku tak mengetahui tentang akidah mereka (ahlussunnah) sedikitpun. Semua yang kuketahui tentang mereka hanyalah bahwa mereka orang-orang munafik yang ingin menyudutkan ahlul bait yang mulia.
Faktor-faktor di atas sudah cukup untuk menyebabkan timbulnya kebencian yang mendalam terhadap penganut mazhab itu, mazhab ahlussunnah wal jama’ah.
Benar… Aku membenci mereka sebesar kecintaanku kepada para Imam. Aku membenci mereka sesuai dengan anggapan syi’ah sebagai pihak yang terzhalimi.

Keterkejutan pertama
Ketika itu Aku sedang duduk di sekolah dasar. Di sekolah aku mendengar penjelasan Bu Guru tentang mata pelajaran tauhid. Beliau berbicara tentang syirik, dan mengatakan bahwa menyeru selain Allah termasuk bentuk menyekutukan Allah. Contohnya seperti ketika seseorang berkata dalam doanya: “Hai Fulan, selamatkan Aku dari bencana… tolonglah Aku” lanjut Bu Guru. Maka kukatakan kepadanya: "Bu, kami mengatakan “Ya Ali”, apakah itu juga termasuk syirik?" Sejenak kulihat beliau terdiam… seluruh murid di sekolahku, dan sebagian besar guru-gurunya memang menganut mazhab syi’ah… kemudian Bu Guru berkata dengan nada yakin: “Iya, itu syirik” kemudian langsung melontarkan sebuah pertanyaan kepadaku:
“Bukankah doa adalah ibadah?”
“Tidak tahu”, jawabku.
“Coba perhatikan, apa yang Allah katakan tentang doa berikut”, lanjutnya seraya membaca firman Allah:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina” (Ghaafir: 60).
“Bukankah dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa berdoa adalah ibadah, lalu mengancam orang yang enggan dan takabbur terhadap ibadah tersebut dengan Neraka?” tanyanya.
Setelah mendengar pertanyaan tersebut, aku merasakan suatu kejanggalan… aku merasa kecewa… segudang perasaan menggelayuti benakku tanpa bisa kuungkapkan. Saat itu aku berangan-angan andaikan aku tak pernah menanyakan hal itu kepadanya. Lalu kutatap dia untuk kedua kalinya… ia tetap tegar laksana gunung.
Waktu pulang kutunggu dengan penuh kesabaran, Aku berharap barangkali ayah dapat memberi solusi atas permasalahanku ini… maka sepulangku dari sekolah, kutanya ayahku tentang apa yang dikatakan oleh Bu Guru tadi.
Ayah serta merta mengatakan bahwa Bu Guru itu termasuk yang membenci Imam Ali. Ia mengatakan bahwa kami tidaklah menyembah Amirul Mukminin, kami tidak mengatakan bahwa dia adalah Allah sehingga Gurumu bisa menuduh kami telah berbuat syirik… jelas ayah.
Sebenarnya aku tidak puas dengan jawaban ayahku, sebab Bu Guru berdalil dengan firman Allah. Ayah lalu berusaha menjelaskan kepadaku kesalahan mazhab sunni hingga kebencianku semakin bertambah, dan aku semakin yakin akan batilnya mazhab mereka.
Aku pun tetap memegangi mazhabku, mazhab syi’ah; hingga adik perempuanku melanjutkan karirnya sebagai pegawai di Departemen Kesehatan.
Sekarang, biarlah adikku yang melanjutkan ceritanya…
Setelah masuk ke dunia kerja, aku berkenalan dengan seorang akhwat ahlussunnah wal jama’ah. Ia seorang akhwat yang multazimah (taat) dan berakhlak mulia. Ia disukai oleh semua golongan, baik sunni maupun syi’ah. Aku pun demikian mencintainya, dan berangan-angan andai saja dia bermazhab syi’ah.
Saking cintanya, aku sampai berusaha agar jam kerjaku bertepatan dengan jam kerjanya, dan aku sering kali bicara lewat telepon dengannya usai jam kerja.
Ibu dan saudara-saudaraku tahu betapa erat kaitanku dengannya, sebab itu aku tak pernah berterus terang kepada mereka tentang akidah sahabatku ini, namun kukatakan kepada mereka bahwa dia seorang syi’ah, tak lain agar mereka tidak mengganggu hubunganku dengannya.
Permulaan hidayah
Hari ini, aku dan sahabatku berada pada shift yang sama. Kutanya dia: “Mengapa di sana ada sunni dan syi’ah, dan mengapa terjadi perpecahan ini?” Ia pun menjawab dengan lembut:
“Ukhti, sebelumnya maafkan aku atas apa yang akan kuucapkan… sebenarnya kalianlah yang memisahkan diri dari agama, kalian yang memisahkan diri dari Al Qur’an dan kalian yang memisahkan diri dari tauhid!!”

Kata-katanya terdengar laksana halilintar yang menembus hati dan pikiranku. Aku memang orang yang paling sedikit mempelajari mazhab di antara saudari-saudariku. Ia kemudian berkata:

“Tahukah kamu bahwa ulama-ulama kalian meyakini bahwa Al Qur’an telah dirubah-rubah, meyakini bahwa segala sesuatu ada di tangan Imam, mereka menyekutukan Allah, dan seterusnya…?” sembari menyebut sejumlah masalah yang kuharap agar ia diam karena aku tidak mempercayai semua itu.

Menjelang berakhirnya jam kerja, sahabatku mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya seraya mengatakan bahwa itu adalah tulisan saudaranya, berkenaan dengan haramnya berdoa kepada selain Allah. Kuambil lembaran-lembaran tersebut, dan dalam perjalanan pulang aku meraba-rabanya sambil merenungkan ucapan sahabatku tadi.
Aku masuk ke rumah dan kukunci pintu kamarku. Lalu mulailah kubaca tulisan tersebut. Memang, hal ini menarik perhatianku dan membuatku sering merenungkannya.

Pada hari berikutnya, sahabatku memberiku sebuah buku berjudul “Lillaah, tsumma littaariekh” (Karena Allah, kemudian karena sejarah). Sumpah demi Allah, berulang kali aku tersentak membaca apa yang tertulis di dalamnya. Inikah agama kita orang syi’ah? Inikah keyakinan kita?!!

Sahabatku pun semakin akrab kepadaku. Ia menjelaskan hakikat banyak hal kepadaku. Ia mengatakan bahwa ahlussunnah mencintai Amirul Mukminin dan keluarganya.

Benar… aku pun beralih menganut mazhab ahlussunnah tanpa diketahui oleh seorang pun dari keluargaku. Sahabatku ini selalu menghubungiku lewat telepon. Bahkan saking seringnya, ia sempat berkenalan dengan kakak perempuanku.

Sekarang, biarlah kakakku yang melanjutkan ceritanya…
Aku mulai berkenalan dengan akhwat yang baik ini. Sungguh demi Allah, aku jadi cinta kepadanya karena demikian sering mendengar cerita adikku tentangnya. Maka begitu mendengar langsung kata-katanya, aku semakin cinta kepadanya…
Permulaan hidayah
Hari itu, aku sedang membersihkan rumah dan adikku sedang bekerja di kantor. Aku menemukan sebuah buku bergambar yang berjudul: “Lillaah, tsumma littaariekh”.
Aku pun membukanya lalu membacanya… sungguh demi Allah, belum genap sepuluh halaman, aku merasa lemas dan tak sanggup merampungkan tugasku membersihkan rumah. Coba bayangkan, dalam sekejap, akidah yang ditanamkan kepadaku selama lebih dari 20 tahun hancur lebur seketika.
Aku menunggu-nunggu kembalinya adikku dari kantornya. Lalu kutanya dia: “Buku apa ini?”
“Itu pemberian salah seorang suster di rumah sakit”, jawabnya.
“Kau sudah membacanya?” tanyaku.
“Iya, aku sudah membacanya dan aku yakin bahwa mazhab kita keliru”, jawabnya.
“Bagaimana denganmu?” tanyanya.
“Baru beberapa halaman” jawabku.
“Bagaimana pendapatmu tentangnya?” tukasnya.
“Kurasa ini semua dusta, sebab kalau benar berarti kita betul-betul sesat dong”, sahutku.
“Mengapa tidak kita tanyakan saja isinya kepada Syaikh?” pintaku.
“Wah, ide bagus” katanya.
Buku itu lantas kukirimkan kepada Syaikh melalui adik laki-lakiku. Kuminta agar ia menanyakan kepada Syaikh apakah yang tertulis di dalamnya benar, ataukah sekedar kebohongan dan omong kosong?
Adikku mendatangi Syaikh tersebut dan memberinya buku itu. Maka Syaikh bertanya kepadanya: “Dari mana kau dapat buku ini?”
"Itu pemberian salah seorang suster kepada kakakku” jawabnya.
“Biarlah kubaca dulu” kata Syaikh, sembari aku berharap dalam hati agar kelak ia mengatakan bahwa semuanya merupakan kebohongan atas kaum syi’ah. Akan tetapi, jauh panggang dari api! Kebatilan pastilah akan sirna…
Aku terus menunggu jawaban dari Syaikh selama sepuluh hari. Harapanku tetap sama, barang kali aku mendapatkan sesuatu darinya yang melegakan hati.

Namun selama sepuluh hari tadi, aku telah mengalami banyak perubahan. Kini sahabat adikku sering berbicara panjang lebar denganku lewat telepon, bahkan ia seakan lupa kalau mulanya ia ingin bicara dengan adikku. Kami bicara panjang lebar tentang berabagai masalah.
Pernah suatu ketika ia menanyaiku: “Apa kau puas dengan apa yang kita amalkan sebagai orang syi’ah selama ini?”. Aku mengira bahwa dia adalah syi’ah, dan dia tahu akan hal itu…
“Kurasa apa kita berada di atas jalan yang benar”, jawabku.
“Lalu apa pendapatmu terhadap buku milik adikmu?” tukasnya. Akupun terdiam sejenak… lalu kataku:
“Buku itu telah kuberikan ke salah seorang Syaikh agar ia menjelaskan hakikat buku itu sebenarnya”.
“Kurasa ia takkan memberimu jawaban yang bermanfaat, aku telah membacanya sebelummu berulang kali dan kuselidiki kebenaran isinya… ternyata apa yang dikandungnya memang sebuah kebenaran yang pahit”, jelasnya.

“Aku pun menjadi yakin bahwa apa yang kita yakini selama ini adalah batil” lanjutnya.

Kami terus berbincang lewat telepon dan sebagian besar perbincangan itu mengenai masalah tauhid, ibadah kepada Allah dan kepercayaan kaum syi’ah yang keliru. Tiap hari bersamaan dengan kepulangan adikku dari kantor, ia menitipkan beberapa lembar brosur tentang akidah syi’ah, dan selama itu aku berada dalam kebingungan…

Aku teringat kembali akan perkataan Bu Guru yang selama ini terlupakan. Kuutus adik lelakiku untuk menemui Syaikh dan meminta kembali kitab tersebut beserta bantahannya. Akan tetapi sumpah demi Allah, lagi-lagi Syaikh ini mengelak untuk bertemu dengan adikku. Padahal sebelumnya ia selalu mencari adikku, dan kini adikku yang justru menelponnya. Namun keluarga Syaikh mengatakan bahwa dia tidak ada, dan ketika adikku bertemu dengannya dalam acara Husainiyyah dan menanyakan kitab tersebut; Syaikh hanya mengatakan: “Nanti”, demikian seterusnya selama dua bulan.
Selama itu, hubunganku dengan sahabat adikku lewat telepon semakin sering, dan disela-selanya ia menjelaskan kepadaku bahwa dirinya seorang sunni, alias ahlussunnah wal jama’ah. Dia berkata kepadaku:
“Jujur saja, apa yang membuat kalian membenci Ahlussunnah wal Jama’ah?”

Aku sempat ragu sejenak, namun kujawab: “Karena kebencian mereka terhadap Ahlulbait”.

“Hai Ukhti, Ahlussunnah justeru mencintai mereka”, jawabnya.
Kemudian ia menerangkan panjang lebar tentang kecintaan Ahlussunnah terhadap seluruh keluarga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, beda dengan Syi’ah Rafidhah yang justeru membenci sebagian ahlul bait seperti isteri-isteri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Benar, kini aku tahu tentang akidah Ahlussunnah wa Jama’ah dan aku mulai mencintai akidah yang sesuai dengan fitrah dan jauh dari sikap ghuluw (ekstrim)… jauh dari syirik… dan jauh dari kedustaan.
Kebenaran yang sesungguhnya mulai tampak bagiku, dan aku pun bingung apakah aku harus meninggalkan agama nenek moyang dan keluargaku? Ataukah meninggalkan agama yang murni, ridha Allah dan Jannah-Nya??
Ya, akhirnya kupilih yang kedua dan aku menjadi seorang ahlussunnah wal jama’ah. Aku kemudian menghubungi akhwat yang shalihah tadi dan kunyatakan kepadanya bahwa hari ini aku ‘terlahir kembali’.
Aku seorang sunni, alias Ahlussunnah wal Jama’ah.
Akhwat tersebut mengucapkan takbir lewat telepon, maka seketika itu meleleh lah air mataku… air mata yang membersihkan sanubari dari peninggalan akidah syi’ah yang sarat dengan syirik, bid’ah dan khurafat…
Demikianlah… dan tak lama setelah kami mendapat hidayah, adik kami yang paling kecil serta salah seorang sahabatku juga mendapat hidayah atas karunia Allah.
____
(Saudari-saudari kalian yang telah bertaubat)

Sumber: http://basweidan.wordpress.com

Pemutakhiran Terakhir ( Wednesday, 13 May 2009 )

Pacaran Islami, Adakah?

OLEH : Abu Hudzaifah Al Faruqy

Pacaran, setiap kali kita mendengarnya akan terlintas dibenak kita sepasang anak manusia yang tengah dimabuk cinta dan dilanda asmara, saling mengungkapkan rasa sayang serta rindu. Lalu kenapa harus dipermasalahkan? Bukankah "ada pacaran islami" tanpa harus melanggar batasan-batasan syariat?

CINTA, FITRAH ANAK MANUSIA
Manusia diciptakan oleh Allah Subhaanahu wa Ta'ala dengan membawa fitrah (insting) untuk mencintai lawan jenisnya. sebagaimana firman-Nya, artinya,
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu Wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga)." (QS. Âli-'Imrân: 14).

Berkata Imam Qurthubi, "Allah memulai dengan wanita karena kebanyakan manusia menginginkannya, juga karena mereka merupakan jerat-jerat setan yang menjadi fitnah bagi kaum laki-laki, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, "Tiadalah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita." (HR. Bukhârî dan Muslim).

Oleh karena itu, wanita adalah fitnah terbesar dibanding yang lainnya. (Lihat Tafsîr al Qurthubî 2/20). Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pun, sebagai manusia, tak luput dari rasa cinta terhadap wanita. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Disenangkan kepadaku dari urusan dunia wewangian dan wanita." (HR. Ahmad dan selainnya dengan sanad hasan).

Karena cinta merupakan fitrah manusia, maka Allah menjadikan wanita sebagai perhiasan dunia dan nikmat yang dijanjikan bagi orang-orang beriman di surga dengan bidadarinya.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang shalihah." (HR. Muslim).
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman, artinya, "Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik." (QS. Ar-Rahmân: 70).

Namun, Islam sebagai agama paripurna para rasul, tidak membiarkan fitnah itu mengembara tanpa batas, Islam telah mengatur dengan tegas bagaimana menyalurkan cinta, juga bagaimana batas pergaulan antara dua insan lawan jenis sebelum nikah, agar semuanya tetap berada dalam koridor etika dan norma yang sesuai dengan syari'at.

ETIKA PERGAULAN LAWAN JENIS DALAM ISLAM

1. Menundukan Pandangan terhadap Lawan Jenis
Allah memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukan pandangannya, sebagaimana firman-Nya, artinya, "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya." (QS. An-Nûr: 30).
Sebagaimana hal ini juga diperintahkan kepada wanita beriman, Allah berfirman, artinya, "Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluan-nya." (QS. An-Nûr: 31).

2. Menutup Aurat
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya." (QS. An-Nûr: 31).
Juga firman-Nya, artinya, "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzâb: 59).

3. Adanya Pembatas Antara Laki-laki dengan Wanita
Seseorang yang memiliki keperluan terhadap lawan jenisnya, harus menyampaikannya dari balik tabir pembatas. Sebagaimana firman-Nya, artinya, "Dan apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (para wanita) maka mintalah dari balik hijab." (QS. Al-Ahzâb: 53).

4. Tidak Berdua-duaan dengan Lawan Jenis
Dari Ibnu 'Abbâs Radhiyallahu ‘Anhu berkata, "Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya." (HR. Bukhârî 9/330, Muslim 1341).
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga bersabda, "Janganlah salah seorang dari kalian berdua-duaan dengan seorang wanita, karena setan akan menjadi yang ketiganya." (HR. Ahmad dan At-Tirmidzî dengan sanad shahih).

5. Tidak Mendayukan Ucapan
Seorang wanita dilarang mendayukan ucapan saat berbicara kepada selain suami. Firman Allah Subhaanahu wa Ta'ala, artinya, "Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik." (QS. Al-Ahzâb: 32).
Berkata Imam Ibnu Katsîr—rahimahullâh, "Ini adalah beberapa etika yang diperintahkan oleh Allah kepada para istri Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam serta para wanita Mukminah lainnya, yaitu hendaklah dia kalau berbicara dengan orang lain tanpa suara merdu, dalam artian janganlah seorang wanita berbicara dengan orang lain sebagaimana dia berbicara dengan suaminya." (Tafsîr Ibnu Katsîr: 3/530).

6. Tidak Menyentuh Lawan Jenis
Dari Ma'qil bin Yasâr t berkata, "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi itu masih lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya." (HR. Thabrânî dalam Mu'jam al Kabîr: 20/174/386).
Berkata Syaikh Al-Albânî—rahimahullâh, "Dalam hadits ini terdapat ancaman keras terhadap orang-orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya." (Ash-Shohîhah: 1/448).

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak pernah menyentuh wanita meskipun dalam saat-saat penting seperti membaiat dan lain-lain. Dari 'Aisyah berkata, "Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun saat membaiat." (HR. Bukhârî 4891).

Inilah sebagian etika pergaulan laki-laki dengan wanita selain mahram, yang mana, apabila seseorang melanggar semuanya atau sebagiannya saja akan menjadi dosa zina baginya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya Allah menetapkan untuk anak adam bagiannya dari zina, yang pasti akan mengenainya. zina mata dengan memandang, zina lisan dengan berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan serta berangan-angan, lalu farji yang akan membenarkan atau mendustakan semuanya." (HR. Bukhârî dan Muslim).

Padahal Allah Subhaanahu wa Ta'ala telah melarang perbuatan zina dan segala sesuatu yang bisa mendekati perzinaan. (Lihat Hirâsatul Fadhîlah oleh Syaikh Bakr Abu Zaid, hal. 94-98). Sebagaimana firman-Nya, artinya, "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isrâ': 32).

Hukum Pacaran
Setelah memerhatikan ayat dan hadits di atas, maka tidak diragukan lagi bahwa pacaran itu haram, karena beberapa sebab berikut:

  1. Orang yang sedang pacaran tidak mungkin menundukan pandangannya terhadap kekasihnya. Awal munculnya rasa cinta itu pun adalah dari seringnya mata memandang kepadanya.
  2. Orang yang sedang pacaran tidak akan bisa menjaga hijab.
  3. orang yang sedang pacaran biasanya sering berdua-duaan dengan kekasihnya, baik di dalam rumah atau di luar rumah
  4. Wanita akan bersikap manja dan mendayukan suaranya saat bersama kekasihnya
  5. Pacaran identik dengan saling menyentuh antara laki-laki dengan wanita, meskipun itu hanya jabat tangan.
  6. Orang yang sedang pacaran, bisa dipastikan selalu membayangkan orang yang dicintainya.

Perhatikan kembali etika pergaulan dengan lawan jenis dalam Islam yang telah kami sebutkan di atas. Berapa poin pelanggaran yang dilakukan oleh orang pacaran? Dalam kamus pacaran, hal-hal tersebut adalah lumrah dilakukan, padahal satu hal saja cukup untuk mengharamkan pacaran, lalu bagaimana kalau semuanya?

SYUBHAT DAN JAWABANNYA
Sebenarnya, keharaman pacaran lebih jelas daripada matahari di siang bolong. Namun begitu, masih ada yang berusaha menolaknya walaupun dengan dalil yang sangat rapuh, serapuh rumah laba-laba Di antara syubhat itu adalah:

Syubhat pertama:
Tidak bisa dipukul rata bahwa pacaran itu haram, karena bisa saja orang pacaran yang Islami, tanpa melanggar syariat.

Tanggapan:
Istilah "Pacaran Islami" itu cuma ada dalam khayalan, dan tidak pernah ada wujudnya. Anggaplah dia bisa menghindari khalwat (berduaan), menyentuh serta menutup aurat, tapi tetap tidak akan bisa menghindari dari saling memandang. Atau paling tidak membayangkan dan memikirkan kekasihnya. Yang mana hal itu sudah cukup mengharamkan pacaran.

Syubhat kedua:
Orang sebelum memasuki dunia pernikahan, butuh untuk mengenal dahulu calon pasangan hidupnya, baik sisi fisik maupun karakter, yang mana hal itu tidak akan bisa dilakukan tanpa pacaran, karena bagaimanapun juga kegagalan sebelum menikah akan jauh lebih ringan daripada kalau terjadi setelah nikah.

Tanggapan:
Memang, mengenal fisik dan karakter calon istri maupun suami merupakan suatu hal yang dibutuhkan orang sebelum memasuki biduk pernikahan, agar tidak ada penyesalan di kemudian hari, juga tidak terkesan membeli kucing dalam karung. Namun, tujuan ini tidak bisa menghalalkan sesuatu yang haram. Ditambah lagi, bahwa orang yang sedang jatuh cinta akan berusaha menampakkan segala yang baik dengan menutupi kekurangannya di hadapan kekasihnya. Juga orang yang sedang jatuh cinta akan menjadi buta dan tuli terhadap perbuatan kekasihnya, sehingga akan melihat semua yang dilakukannya adalah kebaikan tanpa cacat. (Lihat Faidhul Qodîr oleh Imam Al-Munâwî: 3/454).

di kutip dari artikel islam wahdah islamiyah

TUMAPPIGORA

KEMANAKAH PERJUANGAN DARI PARA PEMUDA GOWA
Ketika islam ini telah mulai bvangkit akankah kita sebagai seorang pemuda berdiam diri melihat makin banyaknya kemaksiatan dan makin dangkalnya pengetahuan ummat dengan agamanya sendiri. Kami mengajak kepada para pemuda islam yang berasal dari gowa untuk mengambil bagian dalam perjuangan agama ini di bumi gowa.

Pertemuan rutin setiap hari senin malam selasa dan hari rabu malam kamis ba'da isya di masjid An Nuur Bonto-bontoa Sungguminasa

Kami tunggu kehadiran antum semua .ALLOHU AKBAR!!!!!!!!

Rabu, 17 Juni 2009

Biarkan Syi’ah Bercerita Tentang Kesesatan Agamanya


Kategori: Manhaj Salaf

Fakta Kelima: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai Hari ‘Asyura.

Pada hari ‘Asyura orang-orang Islam menunaikan ibadah puasa, dalam rangka mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam. Kitab-kitab orang Rafidhah juga memerintahkan untuk berpuasa pada hari ‘Asyura, akan tetapi anehnya orang-orang Rafidhah sendiri mengingkari puasa tersebut, bahkan menuduh bahwa orang-orang kerajaan Umawi-lah yang membuat-buat riwayat-riwayat palsu yang menghasung puasa ‘Asyura.

Setiap tahun, pada hari-hari bulan Muharam, terutama tanggal sepuluh, orang-orang Rafidhah melakukan perbuatan-perbuatan ‘aib yang memalukan; mulai dari memakai pakaian hitam, mengadakan majelis-majelis Al Husainiyah, mengadakan ceramah-ceramah dan perkumpulan-perkumpulan yang diselingi dengan pelaknatan terhadap Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu dan anaknya Yazid serta kepada bani Umayyah secara keseluruhan. Juga mereka menganiaya diri mereka sendiri dan memukuli diri mereka dengan rantai dan pedang. Serta masih banyak penyelewengan-penyelewengan syariat lainnya, yang mana itu semua dengan dalih mengungkapkan rasa bela sungkawa dan berkabung atas kematian Husain radhiallahu ‘anhu.

Dengarlah syaikh mereka Abdul Hamid al-Muhajir yang melegalisir aksi orang-orang Rafidhah pada hari ‘Asyura, “Jangan kalian dengar orang yang berkata bahwa memukul-mukul kepala dengan rantai, menampar dan menangis itu haram, sesungguhnya mereka itu tidak paham agama Islam. Pada asalnya sesuatu itu diharamkan seandainya membahayakan, kalau membahayakan baru bisa dikatakan haram, dan ini tidak ada hubungannya dengan memukul-mukul kepala dan memukul-mukul kaki, siapa bilang itu haram? Mengharamkan sesuatu butuh dalil, karena pada asalnya segala sesuatu itu hukumnya halal!!”

Inilah ulama kita yang mulia Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah yang mengingkari bid’ah-bid’ah dan kemungkaran-kemungkaran Rafidhah pada hari-hari ‘Asyura dengan perkataannya, “Orang yang menjadikan hari ‘Asyura sebagai hari penebusan dosa dan hari berkabung, sebagaimana orang-orang Rafidhah yang pada hari itu mereka memukul-mukul dada-dada dan tubuh-tubuh mereka serta memukul-mukul diri mereka dengan besi, mencaci maki dan melaknat. Ini semua merupakan sebagian dari kebodohan, kesesatan serta kebid’ahan mereka yang tercela. Kita memohon kepada Allah keselamatan dari itu semua. Niyahah (ratapan), memukul-mukul pipi, serta merobek-robek pakaian, tetap merupakan perbuatan mungkar, kapan saja dan di mana saja sampai pun pada hari di mana Husain terbunuh, atau di saat musibah apapun. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari perbuatan itu dan bersabda, ‘Tidak termasuk dari golongan kami: orang-orang yang memukul-mukul pipi dan merobek-robek pakaian serta menyeru dengan seruan jahiliyah.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ‘Allah melaknat ash- Shaliqah, al-Haliqah serta asy-Syaqqah.’ Ash-Shaliqah: adalah orang yang meraung-raung ketika terjadi musibah, al-Haliqah: yang menggundul rambutnya, asy-Syaqqah: yang merobek-robek pakaiannya. Ini semua merupakan kemungkaran, na’udzubillah!. Orang-orang Rafidhah memperbolehkan aksi-aksi tersebut dengan dalih bahwa itu ungkapan dukungan terhadap ahlul bait dan sebagai ungkapan kesedihan. Padahal dengan aksi-aksi tersebut mereka telah menyakiti diri mereka sendiri dan menjadikan Allah murka terhadap perbuatan buruk tersebut, sebab aksi itu telah menyelisihi syariat dan merupakan bid’ah yang mungkar.”

Bagaimana mungkin kita bisa bersatu dengan orang-orang yang selalu mencekoki masyarakatnya setiap tahun dengan perasaan dendam dan dengki terhadap Ahlusunnah, dengan dalih bahwa Ahlusunnah-lah yang telah membunuh Husain. Padahal kitab-kitab Syi’ah dipenuhi riwayat-riwayat yang membuktikan bahwa orang Syia’h Kufah-lah yang telah mengkhianati Husain radhiallahu ‘anhu, sebagaimana sebelumnya mereka telah berkhianat kepada saudara dan bapaknya.

Dalam kitab Maqtal al-Husain karya Abdul Razak al-Mukrim (hal 175) disebutkan: ((Bahwa Husain radhiallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya merekalah yang telah mengkhianatiku, lihatlah surat-surat yang berasal dari Kufah ini! Sesungguhnya merekalah yang telah membunuhku!”)). Hal yang senada disebutkan dalam kitab Muntaha al-Aamal Fi Tarikh an-Nabiy wa al-Aal (jilid I, hal 535).

Bahkan referensi Syi’ah yang tersohor Muhsin al-Amin dalam A’yaan asy-Syi’ah (jilid I, hal 32) berkata, “Kemudian 20.000 penduduk Irak yang telah membai’at Husain mengkhianatinya dan meninggalkannya, padahal tali bai’at masih tergantung di leher mereka. Kemudian mereka membunuh al-Husain.”

Dalam kitab al-Ihtijaj karangan ath-Thabarsy (hal 306) disebutkan, ((Bahwa Ali bin Husain yang dikenal dengan julukan Zainal Abidin berkata: “Wahai para manusia, demi Allah tahukah kalian bahwa sesungguhnya kalian-lah yang telah menulis surat terhadap bapakku, lantas kalian tipu dia?! Kalian telah berjanji dan membai’at bapakku lantas kalian bunuh dan terlantarkan dia?! Celakalah kalian atas apa yang telah kalian lakukan. Bagaimana kelak kalian bisa memandang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau kelak berkata, ‘Kalian telah membunuh keluargaku dan kalian rusak kehormatanku, sesungguhnya kalian bukanlah dari golongan kami!’”)).

Dalam kitab Maqtal al-Husain karangan Murtadha ‘Ayyad (hal 83) dan dalam kitab Nafs al-Mahmum karangan ‘Abbas Al Qummy (hal 357) disebutkan, ((Tatkala Imam Zainal Abidin rahimahullah lewat dan melihat orang Kufah menangis dan meratap (berkabung atas meninggalnya Husain), beliau membentak mereka seraya berkata, “Kalian meratapi diri kami??! Lantas siapakah yang membunuh kami? (kalau bukan kalian?? -pen)”)). Hal yang senada disebutkan dalam kitab al-Ihtijaj karya ath-Thabarsy (hal 304).

Dengarlah ulama kita Al ‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah yang menerangkan kejadian yang sebenarnya tentang Husain radhiallahu ‘anhu, juga menerangkan sikap Ahlusunnah terhadap fitnah tersebut: “Tatkala Husain bin Ali radhiallahu ‘anhu mendengar berita tentang kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan oleh Yazid bin Mu’awiyah, beliau keluar dari Mekkah menuju Irak, dengan tujuan menyatukan kalimat kaum muslimin di atas kebaikan serta menegakkan syariat Islam. Sebagian saudara-saudaranya dari para sahabat telah menasihatinya agar tidak pergi, tapi beliau berijtihad untuk berangkat. (Tatkala mendengar keberangkatan al-Husain) Ubaidullah bin Ziyad mengutus pasukan yang dipimpin Umar bin Sa’id bin Abi Waqqas, hingga terjadilah peperangan antara dua pihak. Orang-orang yang bersama Husain saat itu sedikit sekali yaitu keluarga dia. Maka terbunuhlah Husain dan banyak korban berjatuhan dari orang-orang yang bersamanya di suatu tempat yang bernama Karbala. Ubaidullah bin Ziyad telah bersalah karena perbuatannya, sebenarnya Husain sudah berkehendak pulang dan meninggalkan fitnah, atau pergi ke Yazid, atau pergi ke daerah sekitar. Akan tetapi pasukan tersebut terus memerangi dia sampai akhirnya membunuh dia dan membunuh siapa saja yang berusaha untuk melindungi dia. Hingga terbunuhlah Husain dalam keadaan terzalimi dan tidak bersalah. Maka terjadilah musibah besar yang membuka pintu keburukan yang besar! nas’alullah al-’afiyah!”

Mereka (Ubaidullah dkk) telah berbuat salah dengan perbuatan mereka tersebut, semoga Allah meridhai Husain dan memberi rahmat kepadanya, kepada kita serta kepada semua kaum Muslimin. Semoga Allah membalas orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan itu dengan balasan yang setimpal. Semoga Allah melindungi kita dari kejahatan-kejahatan Rafidhah dan perbuatan-perbuatan mereka yang hina, serta Allah kembalikan mereka ke pangkuan Islam dan petunjuk.

Epilog

Para pembaca yang budiman, setelah kita melakukan ‘pengembaraan’ dari satu referensi ke referensi yang lain yang berada di perpustakaan kelompok Syi’ah, penulis ingin menarik perhatian para pembaca kepada dua perkara penting yang erat kaitannya dengan pembahasan kita kali ini.

Dua hal itu adalah:

Pertama- Kami rasa setiap yang membaca makalah ini akan bisa langsung menarik kesimpulan betapa sesatnya kelompok yang satu ini, bahkan dia bisa mengatakan bahwa yang menganut keyakinan tersebut di atas tidak lagi bisa dianggap beragama Islam. (Bahkan ada salah seorang awam yang tatkala membaca awal makalah ini, tidak bisa mengeluarkan kata-kata kecuali hanya: “Ini kelompok dholal (sesat) banget sich!”).

Yang ingin kami jelaskan di sini: Sedemikian sesatnya kelompok Syi’ah ini, masih ada -sampai detik ini- orang-orang yang berusaha dengan gigihnya untuk menyatukan antara Syi’ah dan Ahlusunnah di bawah satu payung, dan mengatakan bahwa perbedaan kita dengan Syi’ah hanyalah seperti perbedaan antara empat mazhab Ahlusunnah; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Entah karena mereka tidak tahu kesesatan Syi’ah atau karena pura-pura tidak tahu. Wallahua’lam… Kalau tidak tahu kenapa berbicara, bukankah orang yang tidak tahu sebaiknya diam saja? Kalaupun tahu kenapa tidak menerangkan hakikat kelompok Syi’ah itu kepada pengikutnya??

Berikut penulis bawakan statemen-statemen pembesar kelompok pergerakan ini yang terang-terangan berusaha menyatukan antara Ahlusunnah dan Syi’ah (Silahkan baca: ibid hal: 238-268, dan al-Quthbiyyah Hiya al-Fitnah Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim bin Sulthan al-’Adnani, hal: 68-71)

Mari kita mulai dengan perkataan pendiri kelompok ini Hasan al-Banna rahimahullah, “Ketahuilah bahwa Ahlusunnah dan Syi’ah semuanya termasuk kaum muslimin, mereka disatukan dengan kalimat La ilaaha illAllah wa anna Muhammadan Rasulullah (Padahal syahadat orang Syi’ah mereka tambahi dengan: wa anna ‘aliyyan waliyyullah washiyyu rasulillah wa khalifatuhu bila fashl. Silahkan lihat cover buku Tuhfah al-’Awaam Maqbul, karya as-Sayyid Mandzur Husain -pen), ini adalah inti aqidah, Sunah dan Syi’ah sepakat di dalamnya, dan di atas kesucian. Adapun perkara khilaf antara keduanya, maka itu termasuk perkara-perkara yang bisa kita dekatkan antara keduanya.” (Dzikrayat La Mudzakkirat hal 249-250).

Umar at-Tilmisani rahimahullah berkata dalam suatu makalah dia asy-Syi’ah Wa as-Sunnah, “Usaha penyatuan antara Syi’ah dan Sunnah merupakan kewajiban para ahli fikih zaman ini.” (Majalah ad-Da’wah al-Mishriyyah edisi 105, Juli 1985 M). Dalam kitabnya yang lain disebutkan, “Syi’ah itu suatu kelompok yang kira-kira mirip dengan empat mazhab dalam Ahlusunnah… Memang di sana ada berbagai perbedaan, akan tetapi mungkin untuk dihilangkan, seperti: nikah mut’ah, jumlah istri seorang muslim -dan itu terdapat di sebagian sekte kelompok mereka- dan lain sebagainya. Yang mana perbedaan-perbedaan tersebut tidak seharusnya menjadikan perpecahan antara Sunnah dan Syi’ah.” (Al-Mulham al-Mauhub Hasan al-Banna, Umar Tilmisani).

Berkata Dr. Muhammad al-Ghazali rahimahullah, “Betul, saya termasuk orang yang berkepentingan dalam usaha penyatuan antara mazhab-mazhab Islam. Saya selalu bekerja keras dan terus-menerus di Kairo. Saya berteman dengan Muhammad Taqy al-Qummy, Muhammad Jawad Mughniyah, dan ulama-ulama besar Syi’ah yang lain.” (Mauqif ‘Ulama al-Muslimin hal 21-23).

Bahkan tatkala gembong Syi’ah abad ini Ayatullah al-Khomeini (orang yang ‘merestui’ pelaknatan terhadap Abu Bakar dan Umar (Karena dia merestui buku Tuhfah al-’Awaam Maqbul, as-Sayyid Mandzur Husain, yang di dalamnya terdapat doa shanamai quraisy, yang dipenuhi dengan cacian dan laknatan kepada ash-Shiddiq dan al-Faruq)) berhasil melakukan revolusi di Iran, tokoh-tokoh organisasi pergerakan ini berbondong-bondong mengucapkan selamat dan bahkan mendukung kepemimpinannya:

Berkata Al Maududi rahimahullah, “Sesungguhnya revolusi al-Khomeini adalah revolusi yang islami, dipelopori oleh jama’ah islamiyah dan para pemuda yang dididik dalam tarbiyah islamiyah di kancah pergerakan Islam. Maka seluruh kaum muslimin dan gerakan-gerakan Islam berkewajiban untuk mendukung revolusi ini dengan dukungan yang sebesar-besarnya, serta bekerjasama dengan mereka di segala aspek.” (Asy-Syaqiqani, hal 3. dan Mauqif Ulama al-Muslimin, hal 48).

Fathi Yakan rahimahullah berkata, “Dan di dalam sejarah Islam baru-baru ini, terdapat bukti atas perkataan yang kami ucapkan. Bukti itu adalah: percobaan revolusi islami yang ada di Iran; percobaan yang diperangi oleh setiap kekuatan kafir di muka bumi ini, dan masih terus diperangi, karena revolusi ini islami dan tidak memihak ke timur maupun ke barat.” (Abjadiyat at-Tashawwur al-Haraki Li al-’Amal al-Islami, hal 148).

Bahkan at-Tandzim ad-Dauly Lijama’ati al-Ikhwan al-Muslimin (Organisasi Internasional Kelompok Ikhwanul Muslimin) telah menerbitkan memorandum yang berisi, “Dengan ini, Organisasi Internasional Kelompok Ikhwanul Muslimin menyeru setiap pemimpin organisasi pergerakan Islam di Turki, Pakistan, India, Indonesia, Afghanistan, Malaysia, Philipina dan organisasi Ikhwanul Muslimin di negeri-negeri Arab, Eropa dan Amerika untuk mengirim utusan mereka guna membentuk suatu delegasi yang akan diberangkatkan ke Teheran dengan menggunakan pesawat khusus. Dengan tujuan untuk menemui al-Imam Ayatullah al-Khomeini, dalam rangka menekankan dukungan pergerakan Islam yang diwakili oleh Ikhwanul Muslimin, Hizb as-Salamah Turki, al-Jama’ah al-Islamiyah di Pakistan, al-Jama’ah al-Islamiyah di India, Jama’ah Partai Masyumi di Indonesia, Angkatan Belia Islam Malaysia, al-Jama’ah al-Islamiyah di Philipina. Pertemuan itu merupakan salah satu tanda kebesaran Islam dan kemampuannya untuk mencairkan perbedaan-perbedaan ras, kebangsaan dan mazhab…” (Majalah al-Mujtama’ al-Kuwaitiyah, edisi 434, 25/2/1979).

Wahai para pembaca yang budiman, apakah perbedaan itu berhasil dicairkan dengan cara menundukkan setiap perbedaan pendapat di bawah Al Quran dan As Sunnah, atau dengan cara diam dan pura-pura cuek dengan segala macam bentuk perbedaan, entah itu klaim bahwa Al Quran tidak sempurna, pelaknatan terhadap Abu Bakar dan Umar, atau tuduhan yang dilontarkan kepada Ummul Mu’minin Aisyah bahwa dia telah berzina, serta dosa-dosa besar lainnya???!! Allahulmusta’an wa ‘alaihit tuklan…

Kedua- Barangkali ada di antara kita -setelah membaca makalah ini- semangatnya berkobar untuk menasihati orang-orang Syi’ah, entah itu di Madinah atau di kampungnya. Bisa jadi -dan itu memang sudah terjadi- tatkala kita ungkapkan fakta-fakta tersebut di atas, mereka akan menjawab, “Itu semua tidak ada dalam ajaran Syi’ah!” Kalau itu jawaban mereka apa langkah kita selanjutnya?

Perlu diketahui bersama, bahwa orang Syi’ah mempunyai suatu ’senjata’ yang bernama taqiyyah (Silahkan lihat: Min ‘Aqaid asy-Syi’ah, Abdullah bin Muhammad as-Salafy, hal: 32-33). Salah seorang ulama kontemporer mereka mendefinisikan taqiyyah dengan perkataannya, “Taqiyyah adalah mengucapkan atau berbuat sesuatu yang tidak engkau yakini, dengan tujuan untuk melindungi diri dan harta dari marabahaya, atau agar harga dirimu terjaga.” (Asy-Syi’ah Fi al-Mizan, Muhammad Jawad Mughniyah, hal 48).

Al-Kulaini dalam Ushul al-Kafi (hal 482-483) menyebutkan, ((Abu Abdilah berkata, “Wahai Abu Umar, sesungguhnya 9/10 agama kita terletak di dalam taqiyyah, barang siapa yang tidak bertaqiyyah maka dia dianggap tidak mempunyai agama!!”)).

Jadi orang-orang Syi’ah menganggap bahwa taqiyyah itu hukumnya wajib. Maka kalau ada di antara mereka yang mengingkari fakta-fakta ini, ketahuilah bahwa mereka sedang bertaqiyyah alias berbohong. Wallahua’lam, semoga bermanfaat! dan mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan…

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajmain.

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Madinah An-Nabawiyah)

Selasa, 20 Muharram 1426 H

***

Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman al-Atsary Abdullah Zaen (Mahasiswa S2, Universitas Islam Madinah)
Artikel www.muslim.or.id


Senin, 23 Maret 2009

Artikel 2

Mereka Yang Tersembunyi PDF Cetak E-mail
Ditulis Oleh Abu Hudzaifah AlFaruq
Monday, 23 March 2009
Tentang al-Alkhfiya’. Mereka adalah orang–orang yang sepi, tersembunyi. Mereka adalah orang – orang yang memahami benar bahwa beramal -sekecil apaun itu- semata-mata demi Allah Ta’ala saja. Tidak untuk yang lain. Dan mereka selalu ada di setiap zaman. Namun begitulah, sungguh tidak mudah menjumpai mereka. Bahkan teramat sulit. Sebab mereka adalah orang-orang yang tersembunyi.

Orang – orang seperti mereka benar-benar tidak pandai bertingkah demi menarik simpati manusia. Tanpa bermaksud merendahkan sesama manusia, namun para manusia bagi mereka sangat tidak pantas untuk dijadikan sumber simpati, penghargaan dan perhormatan. Simpati yng mereka cari adalah simpati Sang Agung, Allah Azza wa Jalla. Karenanya, mereka tidak akan pernah berlagak khusyu’ dan zuhud di hadapan manusia, lalu kehilangan –dari sifat khusyu’ dan zuhud – saat berhadapan dengan Allah Sang Khalik.
Sehingga, sangatlah pantas, jika perikehidupan mereka kemudian menjadi inspirasi bagi kita. Berikut kami sajikan, sebagian darinya. Kisah teladan yang tersimpan dalam lipatan – lipatan sejarah manusia shalih, para al-Akhfiya sepanjang zaman. Selamat membaca!. ********************
Apakah Anda tahu seorang tabi’in yang mulia bernama Muhammad bin Sirin?. Semoga Anda tahu atau kelak akan mengetahuinya. Muhammad bin Sirin bila bersama manusia di siang hari ia justru seringkali tertawa. Namun saat malam mulai merangkak memeluk bumi, bila engkau melihat bagaimana ia beribadah dan bermunajat ia menjelma bagai orang yang telah membunuh semua penghuni sebuah desa. Seolah ia telah melakukan dosa yang tak terampunkan. Jiwanya begitu mudah untuk merasa sedih dan takut akan kelalaian dan dosa-dosa.
Ia juga pernah bertutur, ”Jadilah orang yang menyukai status khumul dan membenci popularitas. Namun jangan engkau tampakkan bahwa engkau menyukai status rendah itu sehingga menjadi tinggi hati. Sesungguhnya mengklaim diri sendiri sebagai orang zuhud, justru mengeluarkan dirimu dari kezuhudan. Karena dengan cara itu, kamu menarik pujian dan sanjungan untuk dirimu”. Khumul dalam perkataan beliau adalah status tersembunyi dan tidak dikenal. Bukan berarti sikap malas. (Lihat ”Al Qamus Al Muhith”, materi kata Khamula).
Dari Habib bin Abu Tsabit diriwayatkan bahwa ia berkata : ”Suatu hari Abdullah bin Mas’ud keluar dari rumah. Tiba – tiba orang –orang mengikutinya. Beliau kemudian berkata : ”Apakah kalian membutuhkan sesuatu?, mereka menjawab : ”Tidak, kami hanya ingin berjalan bersamamu”. Beliau berkata: ”Pulanglah!, yang demikian itu adalah kehinaan bagi yang mengikuti dan malapetaka bagi yang diikuti”. Beliaupun suatu ketika pernah berkata : ”Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui tentang diriku sendiri, niscaya kalian (akan) menaburkan tanah di atas kepalaku”.
Seorang tabi’in besar lain bernama Ayyub As-Sikhtiyany pernah mengatakan, ”Sungguh demi Allah! Seorang hamba belum benar-benar jujur menghamba kecuali bila ia telah merasa gembira saat tidak ada seorang makhluk pun mengetahui di mana ia berada”. Dan tabi’in yang satu ini bila mengajarkan hadits – hadits Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lalu hatinya tersentuh hingga matanya hampir menangis, ia segera menolehkan wajahnya dan membuang ludah seraya berkata, ”Sakit flu ini terasa agak berat”. Ia seolah-olah sedang sakit. Ia melakukannya demi menutupi air matanya yang hampir jatuh.
Begitulah mereka. Selalu saja ada cara-cara para al-akhfiya’ itu untuk menutupi amalan shalih mereka dari pandangan manusia.
Bahkan yang juga tak kalah mengagumkannya,kisah tentang seorang tabi’in lain bernama Muhammad bin Wasi’ pernah bertutur, ”Ada orang yang selama dua puluh tahun lamanya sering menagis (karena Allah) namun selama itu pula tidak sekali pun istrinya mengetahui tangisannya”.
Subhanallah! Seorang wanita yang begitu dekat dengannya, selama dua puluh tahun tidak mengetahui bagaimana ia melewati malam-malamnya dengan tangisan kepada Allah.
Kisah lain adalah kisah seorang ’alim besar bernama Imam Al Mawardy. Salah satu karyanya yang mungkin sangat Anda kenal adalah Al-Ahkam As-Sulthaniyah, sebuah krya besar dalam bidang politik Islam. Ternyata semua karya ilmiah beliau tak satu pun muncul ketika beliau masih hidup. Semua karya beliau tersembunyi di suatu tempat. Saat kematiannya semakin mendekat, ia berpesan kepada seorang yang ia percaya, ”semua kitab yang di tempat fulan itu adalah karya-karyaku. Kelak bila aku telah berhadapan dengan sakaratul maut, letakkanlah tanganmu di telapak tanganku. Bila saat ruhku lepas dan ternyata aku menggenggam tanganmu, itu pertanda Allah tidak menerima satupun karya-karyaku itu. Kumpulkanlah semuanya lalu buanglah ia ke sungai Dajlah saat malam tiba. Namun bila telapak tanganku terbuka dan tidak menggengam tanganmu, maka itu pertanda aku telah beruntung dan aku telah menulisnya dengan niat yang ikhlas” .
Demikianlah pesan sang Imam. Saat kematian benar-benar berada di sisinya, lalu ruhnya kembali kepada Sang Pencipta, ”Telapak tangannya terbuka dan tidak menggenggam tanganku”. Aku pun sadar bahwa itu pertanda ia diterima oleh Allah. Maka aku pun menyebarkan karya-karyanya sepeninggalnya”, ujar orang kepercayaan sang Imam itu.
Rasul kita yang mulia, Muhammad bin Abdillah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda : ”Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang taqiy, ghaniy, dan khafiy. (HR. Muslim). Taqiy adalah mereka yang melaksanakan segala yang diwajibkan oleh Allah dan menjauhi segala laranganNya, semata-mata ingin meraih keridhaanNya dan takut akan adzab dan sikasaanNya. Ghaniy adalah mereka yang senantiasa menjaga dirinya , dengan tidak meminta kepada manusia. Ia (hanya) bertopang terhadap rezeki pemberian Allah yang ia dapatkan dari usahanya. Sedangkan khafiy -dan ini yang menjadi bahasan kita- adalah mereka yang tidak menyebut-nyebut amal kebaikannya dan senantiasa menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah.
Ada juga ungkapan Imam Syafi’i (Ah, siapa yang tak kenal dengan imam yang satu ini). Dorongan keihklasan yang kuat mendorongnya suatu ketika untuk mengatakan, ”Sungguh aku mengangankan andai saja manusia dapat mengetahui ilmu (yang kuajarkan) ini tanpa ada satupun yang dinisbatkan (disandarkan) kepadaku selama-lamanya, sehingga dengan begitu aku mendapatkan pahala tanpa perlu mendapatkan pujian manusia”.
Duhai, betapa beratnya mencapai derajat mereka! Derajat para akhfiya’. Kafilah manusia-manusia tersembunyi. Wallahu A’lam. (abm).
Referensi :
Aina Nahnu Min Akhlaq As Salaf., Abdul Aziz bin Nashir Al Jalil. Penjelasan Hukum dari Kitab Bulughul Maram, Abdullah bin Abdurahman Al Bassam. Perindu-Perindu Malam, Abul Miqdad Al Madany..

Rabu, 18 Maret 2009

Sirah Sahabat

ABU ABDULLAH AS SYARQY

( MUSY’IL AL QOHTHONY )


Beliau seorang yang hafal Al Qur’an Al Karim, dan beliau adalah salah satu mahasiswa di Kuliyah Sar’iyyah di Ahsa’ dan termasuk orang yang mempunyai ilmu syar’ie.

Akhlaqnya yang mulia sungguh menakjubkan, sifatnya mulia, ketenangan jiwanya yang mengherankan, dan kewibawaan yang Allah berikan kepadanya. Jikalau engkau melihatnya maka engkau akan melihat pancaran cahaya ketaatan keluar dari wajahnya. Beliau termasuk orang yang ikut serta teman-temannya berjihad di Afgahanistan memerangi Rusia dan Komunis. Beliau berjihad bersama kakaknya, dan kakaknya telah terbunuh disana sebagai syuhada’.

Setelah terbunuhnya sang kakak, beliau pulang kembali ke orang tuanya di kota Al Jabil di daerah timur dan beliau melanjutkan kuliah di Universitasnya sampai ibunya wafat – semoga Allah merahmatinya -.

Dahulu beliau sering merayu ibunya untuk diijinkan berangkat ke Bosnia, akan tetapi ibunya tidak mengijinkannya. Kemudian beliau meminang seorang perempuan dari keluarga baik-baik, beliau memberikan tenggang waktu untuk melaksanakan akan nikah, akan tetapi Allah menolak rencana itu dan menikahkan beliau dengan Hurun ‘Iin.

Ketika beliau berada pada semester akhir di Universitasnya, beliau sudah tidak sabar lagi ketinggalan jihad dan beliau mengikuti berita-berita para mujahidin disana. Lalu beliau mengemasi kopernya bertepatan masuknya bulan Romadhon yang mubarok pada tahun 1415 H. dan beliau ingin menghabiskan bulan yang mulia ini di sana – Bosnia -. Kemudian beliau bertemu dengan salah seorang teman yang menemani beliau ke Ibu Kota Kroasia yaitu Kota Zaghrob. Ketika beliau menginap di sebuah Hotel selama tiga hari, selama menginap disana ada kejadian yang luar biasa yang beliau alami, yaitu bertemu perempuan yang cantik.

Akhirnya beliau memutuskan tinggal di Hotel selama tiga hari bersama temannya. Ternyata disana ada seorang perempuan yang bekerja di Hotel itu. Perempuan tersebut mengagumi kepribadiannya, yaitu ketika ia melihat jenggot beliau yang lebat dan parasnya yang tampan, maka perempuan itu mulai merayu dan menggodanya. Akan tetapi Allah menjaganya dari perbuatan keji perempuan tersebut hingga berlalu selama tiga hari. Kemudian perempuan tersebut datang untuk memamerkan dirinya di ruang tunggu. Perempuan itu berkata kepada lelaki – saudara - tersebut : “ Jikalau aku menginginkanmu sungguh aku akan menggodamu seperti aku telah menggoda sepuluh lelaki lain sepertimu “. Akan tetapi lelaki tersebut pergi dan berlalu begitu saja meninggalkan perempuan itu. Dan melajulah ia dengan mengendarai pesawat terbang menuju Bandara Seblit. Sesampainya di Bandara beliau menyewa Bus untuk masuk ke Bosnia, maka Allah pun memudahkan jalan masuk baginya sampai bumi yang diidam-idamkannya selama ini untuk dimasuki, dan itu bertepatan dengan ketentuan yang Allah tetapkan pada ajalnya pula ( “ Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati “. QS. Luqman : 34). Merupakan kebahagiaan tersendiri bagi beliau ketika masuk ke Bosnia, hampir-hampir beliau tidak dapat menceritakannya – karena sangat gembira –, apakah benar beliau telah masuk bumi jihad ? apakah benar bahwa beliau akan memerangi musuh-musuh Allah Serbia ? apakah benar beliau akan dapat ribath ? dan …. Dan ….., ya ! semua itu benar.

Beliau pergi ke daerah Turofnik dan bergabung dengan para mujahidin di sana. Tempat mujahidin berada di dalam sebuah rumah yang sederhana yang terletak di sebuah desa kecil, di desa itu terdapat beberapa Masjid dan desa tersebut berdekatan dengan Serbia.

Beliau memulai kegiatannya seperti halnya hujan, yaitu beliau mengajar anak-anak surat Al Fatihah dan sholat. Beliau juga mengajar yang dewasa. Demikianlah kegiatan beliau jika sedang berada di desa, hingga penduduk desa mencintai beliau. Bahasa tidak menghalangi beliau – untuk berdakwah – cukup dengan niat yang jujur mengajar mereka dengan bahasa isyarat. Dan jika beliau berada di Front maka beliau banyak bergaul dengan orang-orang Bosnia untuk berdakwah kepada Allah dan menyampaikan risalah-Nya kepada mereka sesuai kemampuan yang beliau miliki.

Beliau melakukan kegiatan seperti itu terus-menerus sampai akhir bulan Romadhon yang mubarok, hingga datanglah orang yang memanggil “ Wahai pasukan Allah majulah “. Hingga datang amaliah di Gunung Falasyij As Syahiroh, yaitu di puncak Gunung yang amat tinggi dan strategis yang dikuasai oleh Serbia. Dan berkali-kali mereka menyerang kaum muslimin dengan menggunakan Mortar dari atas puncak Gunung. Maka para mujahidin pun mengadakan persiapan untuk menghadapi peperangan yang sangat menentukan itu.

Para mujahidin menggunakan strategi memasuki daerah Serbia dengan mengambil jarak tiga kilo meter sebagaimana yang diceritakan oleh orang yang mengikuti peperangan pada saat itu. Dari sana mujahidin dapat memutuskan bantuan untuk tentara Serbia dan mujahidin dapat menyerbu pasukan gunung dengan keseluruhan..

Dua hari sebelum amaliah, Abu Abdullah bercerita pada salah seorang teman. Beliau berkata kepada temannya : “ Aku bermimpi bahwa aku dapat membunuh dua orang Serbia lalu meluncurlah dua peluru kepadaku di sini hingga aku terbunuh “. Maka temanya tersebut memberi kabar gembira kepadanya bahwa dia akan mendapatkan syahadah secara nyata. Dia mengucapkan Allahul Musta’an kami bukan orang yang layak mendapatkan syahadah. Dan dia menyuruhnya untuk merahasiakan mimpinya itu.

Singa-singa Allah bergerak menuju medan tempur dan merayap hingga tiba waktu fajar. Mereka mendaki Gunung hingga mendekati terbitnya fajar. Dan para mujahidin sama merasakan keletihan berjalan dan tidak dapat memulai perang. Maka komandan memerintahkan kepada semua mujahidin berbuka puasa, maka berbukalah para mujahidin karena takut atas musuh mereka jika mereka tidak berbuka.

Mulailah peperangan yang dahsyat dan hebat itu bersamaan terbitnya fajar, dan saudara kita ini pun bertekad bertempur untuk membunuh musuh di medan perang. Majulah ia bersama dua mujahidin, lalu keluarlah sekelompok tentara Serbia yang ketakutan dan mereka saling berhadap-hadapan. Maka Abu Abdullah menghadapkan senapan mesinnya – LMG – kepada mereka hingga beliau dapat membunuh dua orang dari mereka, dan meluncurlah dua serangan tepat di leher beliau dan terbuktilah mimpi beliau. Dan berjatuhanlah dua temannya yang terluka oleh serangan Serbia, dan para mujahidin lainnya berada di belakang mereka pada jarak beberapa meter saja, akan tetapi mereka tidak dapat menyelamatkan orang-orang yang terluka karena tempat mereka dekat dengan Serbia, maka Serbia pun hendak mengambil mereka untuk dijadikan tawanan, lalu salah seorang teman yang terluka berdo’a kepada Allah “ Ya Allah ….. Ya Allah ….. Ya Allah ….. beberapa detik kemudian turunlah kabut yang sangat tebal hingga para mujahidin bisa mendekat kepada teman-teman tersebut dan menyelamatkan mereka. Dan Serbia pun kabur lari terbirit-birit ketakutan.

Para mujahidin mendapatkan saudara kita Abu Abdullah As Syarqi telah meninggal dalam keadaan shoum tidak berbuka, dan tampaklah di wajahnya senyumnya yang menakjubkan, sungguh ini adalah tanda-tanda – kesyahidannya -. Kemudian ketika teman-temannya membawa turun jasad beliau ke Desa dan mereka menggalikan lubang kuburnya, maka keluarlah dari tubuhnya aroma wangi Misk yang disaksikan semua orang yang menghadiri pemakamannya.

Sungguh ! Allah telah mengsihi Abu Abdullah As Syarqi, seorang hafidz (hafal) Al Qur’an, orang yang bertaqwa, waro’ dan tawadhu’. Semoga Allah memperbanyak jumlah contoh dari para mujahidin yang sholih pada ummat Islam.

Mukaddimah


organisasi ini adalah organisasi pergerakan di bidang da'wah terkhusus di kabupaten gowa