Senin, 23 Maret 2009

Artikel 2

Mereka Yang Tersembunyi PDF Cetak E-mail
Ditulis Oleh Abu Hudzaifah AlFaruq
Monday, 23 March 2009
Tentang al-Alkhfiya’. Mereka adalah orang–orang yang sepi, tersembunyi. Mereka adalah orang – orang yang memahami benar bahwa beramal -sekecil apaun itu- semata-mata demi Allah Ta’ala saja. Tidak untuk yang lain. Dan mereka selalu ada di setiap zaman. Namun begitulah, sungguh tidak mudah menjumpai mereka. Bahkan teramat sulit. Sebab mereka adalah orang-orang yang tersembunyi.

Orang – orang seperti mereka benar-benar tidak pandai bertingkah demi menarik simpati manusia. Tanpa bermaksud merendahkan sesama manusia, namun para manusia bagi mereka sangat tidak pantas untuk dijadikan sumber simpati, penghargaan dan perhormatan. Simpati yng mereka cari adalah simpati Sang Agung, Allah Azza wa Jalla. Karenanya, mereka tidak akan pernah berlagak khusyu’ dan zuhud di hadapan manusia, lalu kehilangan –dari sifat khusyu’ dan zuhud – saat berhadapan dengan Allah Sang Khalik.
Sehingga, sangatlah pantas, jika perikehidupan mereka kemudian menjadi inspirasi bagi kita. Berikut kami sajikan, sebagian darinya. Kisah teladan yang tersimpan dalam lipatan – lipatan sejarah manusia shalih, para al-Akhfiya sepanjang zaman. Selamat membaca!. ********************
Apakah Anda tahu seorang tabi’in yang mulia bernama Muhammad bin Sirin?. Semoga Anda tahu atau kelak akan mengetahuinya. Muhammad bin Sirin bila bersama manusia di siang hari ia justru seringkali tertawa. Namun saat malam mulai merangkak memeluk bumi, bila engkau melihat bagaimana ia beribadah dan bermunajat ia menjelma bagai orang yang telah membunuh semua penghuni sebuah desa. Seolah ia telah melakukan dosa yang tak terampunkan. Jiwanya begitu mudah untuk merasa sedih dan takut akan kelalaian dan dosa-dosa.
Ia juga pernah bertutur, ”Jadilah orang yang menyukai status khumul dan membenci popularitas. Namun jangan engkau tampakkan bahwa engkau menyukai status rendah itu sehingga menjadi tinggi hati. Sesungguhnya mengklaim diri sendiri sebagai orang zuhud, justru mengeluarkan dirimu dari kezuhudan. Karena dengan cara itu, kamu menarik pujian dan sanjungan untuk dirimu”. Khumul dalam perkataan beliau adalah status tersembunyi dan tidak dikenal. Bukan berarti sikap malas. (Lihat ”Al Qamus Al Muhith”, materi kata Khamula).
Dari Habib bin Abu Tsabit diriwayatkan bahwa ia berkata : ”Suatu hari Abdullah bin Mas’ud keluar dari rumah. Tiba – tiba orang –orang mengikutinya. Beliau kemudian berkata : ”Apakah kalian membutuhkan sesuatu?, mereka menjawab : ”Tidak, kami hanya ingin berjalan bersamamu”. Beliau berkata: ”Pulanglah!, yang demikian itu adalah kehinaan bagi yang mengikuti dan malapetaka bagi yang diikuti”. Beliaupun suatu ketika pernah berkata : ”Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui tentang diriku sendiri, niscaya kalian (akan) menaburkan tanah di atas kepalaku”.
Seorang tabi’in besar lain bernama Ayyub As-Sikhtiyany pernah mengatakan, ”Sungguh demi Allah! Seorang hamba belum benar-benar jujur menghamba kecuali bila ia telah merasa gembira saat tidak ada seorang makhluk pun mengetahui di mana ia berada”. Dan tabi’in yang satu ini bila mengajarkan hadits – hadits Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lalu hatinya tersentuh hingga matanya hampir menangis, ia segera menolehkan wajahnya dan membuang ludah seraya berkata, ”Sakit flu ini terasa agak berat”. Ia seolah-olah sedang sakit. Ia melakukannya demi menutupi air matanya yang hampir jatuh.
Begitulah mereka. Selalu saja ada cara-cara para al-akhfiya’ itu untuk menutupi amalan shalih mereka dari pandangan manusia.
Bahkan yang juga tak kalah mengagumkannya,kisah tentang seorang tabi’in lain bernama Muhammad bin Wasi’ pernah bertutur, ”Ada orang yang selama dua puluh tahun lamanya sering menagis (karena Allah) namun selama itu pula tidak sekali pun istrinya mengetahui tangisannya”.
Subhanallah! Seorang wanita yang begitu dekat dengannya, selama dua puluh tahun tidak mengetahui bagaimana ia melewati malam-malamnya dengan tangisan kepada Allah.
Kisah lain adalah kisah seorang ’alim besar bernama Imam Al Mawardy. Salah satu karyanya yang mungkin sangat Anda kenal adalah Al-Ahkam As-Sulthaniyah, sebuah krya besar dalam bidang politik Islam. Ternyata semua karya ilmiah beliau tak satu pun muncul ketika beliau masih hidup. Semua karya beliau tersembunyi di suatu tempat. Saat kematiannya semakin mendekat, ia berpesan kepada seorang yang ia percaya, ”semua kitab yang di tempat fulan itu adalah karya-karyaku. Kelak bila aku telah berhadapan dengan sakaratul maut, letakkanlah tanganmu di telapak tanganku. Bila saat ruhku lepas dan ternyata aku menggenggam tanganmu, itu pertanda Allah tidak menerima satupun karya-karyaku itu. Kumpulkanlah semuanya lalu buanglah ia ke sungai Dajlah saat malam tiba. Namun bila telapak tanganku terbuka dan tidak menggengam tanganmu, maka itu pertanda aku telah beruntung dan aku telah menulisnya dengan niat yang ikhlas” .
Demikianlah pesan sang Imam. Saat kematian benar-benar berada di sisinya, lalu ruhnya kembali kepada Sang Pencipta, ”Telapak tangannya terbuka dan tidak menggenggam tanganku”. Aku pun sadar bahwa itu pertanda ia diterima oleh Allah. Maka aku pun menyebarkan karya-karyanya sepeninggalnya”, ujar orang kepercayaan sang Imam itu.
Rasul kita yang mulia, Muhammad bin Abdillah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda : ”Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang taqiy, ghaniy, dan khafiy. (HR. Muslim). Taqiy adalah mereka yang melaksanakan segala yang diwajibkan oleh Allah dan menjauhi segala laranganNya, semata-mata ingin meraih keridhaanNya dan takut akan adzab dan sikasaanNya. Ghaniy adalah mereka yang senantiasa menjaga dirinya , dengan tidak meminta kepada manusia. Ia (hanya) bertopang terhadap rezeki pemberian Allah yang ia dapatkan dari usahanya. Sedangkan khafiy -dan ini yang menjadi bahasan kita- adalah mereka yang tidak menyebut-nyebut amal kebaikannya dan senantiasa menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah.
Ada juga ungkapan Imam Syafi’i (Ah, siapa yang tak kenal dengan imam yang satu ini). Dorongan keihklasan yang kuat mendorongnya suatu ketika untuk mengatakan, ”Sungguh aku mengangankan andai saja manusia dapat mengetahui ilmu (yang kuajarkan) ini tanpa ada satupun yang dinisbatkan (disandarkan) kepadaku selama-lamanya, sehingga dengan begitu aku mendapatkan pahala tanpa perlu mendapatkan pujian manusia”.
Duhai, betapa beratnya mencapai derajat mereka! Derajat para akhfiya’. Kafilah manusia-manusia tersembunyi. Wallahu A’lam. (abm).
Referensi :
Aina Nahnu Min Akhlaq As Salaf., Abdul Aziz bin Nashir Al Jalil. Penjelasan Hukum dari Kitab Bulughul Maram, Abdullah bin Abdurahman Al Bassam. Perindu-Perindu Malam, Abul Miqdad Al Madany..

1 komentar:

Anonim mengatakan...

bagus

Posting Komentar