Rabu, 22 Desember 2010

Generasi Al Ghuroba'

Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
بدأ الإسلام غريبا وسيعود غريبا كما بدأ فطوبى للغرباء
“Islam ini pada awalnya dianggap aneh dan akan kembali menjadi aneh sebagaimana awalnya dan beruntunglah orang-orang yang dianggap aneh saat itu.” [HR. Muslim dalam Shohihnya, Kitab Iman (145), dan Sunan Ibnu Majah bab Al-Fitan (3986), Musna Imam Ahmad bin Hambal (2/389)]

Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan,
قيل: يا رسول الله من الغرباء؟ قال: الذين يصلحون إذا فسد الناس
Seseorang bertanya, “wahai Rasulullah, siapa mereka orang-orang yang aneh (al-Ghuraba’) ?”, Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang tetap berbuat baik ketika manusia telah rusak.” [HR. Ahmad dalam Musnadnya (4/74)].

Dalam lafadz lain disebutkan,
الذين يصلحون ما أفسد الناس من سنتي
“Orang-orang yang tetap berbuat baik dengan sunnahku (mengamalkan sunnahku) sementara manusia merusaknya (meninggalkan sunnah).” [HR. Tirmidzi dalam sunannya bab Iman (2630)]
Dalam hadits yang lain disebutkan,
هم أناس صالحون قليل في أناس سوء كثير
“Mereka adalah manusia-manusia sholih yang berjumlah sedikit diantara manusia-manusia jahat/buruk yang berjumlah banyak.” [HR. Ahmad dalam Musnadnya (2/177)]

Imam at-Tirmidzi membawakan hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan datang suatu masa ketika itu orang yang tetap bersabar di antara mereka di atas ajaran agamanya bagaikan orang yang sedang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi [2260] disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’is Sunan at-Tirmidzi [5/260], as-Shahihah no 957. as-Syamilah).
an-Nawawi rahimahullah menukil keterangan al-Harawi bahwa makna orang-orang yang asing adalah : orang-orang yang berhijrah meninggalkan negeri/daerah mereka karena kecintaan mereka kepada Allah ta’ala (Syarh Muslim, 1/235). Keterangan al-Harawi di atas dilandaskan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam Shahihnya dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan ia akan kembali menjadi asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing.” Ada yang bertanya, “Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang asing?”. Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang memisahkan diri dari kabilah-kabilah [mereka].” (HR. Ibnu Majah [3978] dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibni Majah [8/488] namun tanpa tambahan ‘ada yang bertanya, dan seterusnya’, as-Syamilah).

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dari Abdullah bin Amr bin al-’Ash radhiyallahu’anhu, dia mengatakan; Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dan ketika itu kami berada di sisi beliau, “Beruntunglah orang-orang yang asing.” Kemudian ada yang menanyakan, “Siapakah yang dimaksud orang-orang yang asing itu wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Orang-orang salih yang hidup di tengah-tengah orang-orang yang jelek lagi banyak [jumlahnya]. Orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada orang yang menaati mereka.” (HR. Ahmad 6362 [13/400], disahihkan al-Albani dalam Shahih w a Dha’if al-Jami’ 7368 [3/443] as-Syamilah)

Syaikh al-Albani rahimahullah menyebutkan di dalam Silsilah al-Ahadits as-Shahihah penafsiran makna orang-orang yang asing tersebut dengan sanad yang sahih. Diriwayatkan oleh Abu Amr ad-Dani dalam as-Sunan al-Waridah fi al-Fitan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu secara marfu’ -sampai kepada Nabi-, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Islam itu datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing seperti ketika datangnya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing.” Ada yang bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang tetap baik [agamanya] tatkala orang-orang lain menjadi rusak.” (as-Shahihah no 1273 [3/267]. as-Syamilah, lihat juga Limadza ikhtartul manhaj salafi, hal. 54).

al-Qari menafsirkan bahwa makna orang-orang yang asing adalah orang-orang yang memperbaiki [memulihkan] ajaran Nabi yang telah dirusak oleh manusia sesudahnya. Beliau berdalil dengan hadits yang diriwayatkan melalui Amr bin Auf al-Muzani radhiyallahu’anhu, demikian dinukilkan oleh al-Mubarakfuri (Tuhfat al-Ahwadzi [6/427] as-Syamilah). Imam Tirmidzi menyebutkan dalam Sunannya hadits tersebut yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Mereka itu adalah orang-orang yang memperbaiki ajaranku yang telah dirusak oleh manusia-manusia sesudah kepergianku.” (HR. Tirmidzi [2554] dari Amr bin Auf al-Muzani radhiyallahu’anhu, namun hadits ini dinyatakan berstatus dha’if jiddan -lemah sekali- oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi [2630] as-Syamilah, lihat pula Limadza ikhtartul manhaj salafi, hal. 53 oleh Syaikh Salim al-Hilali).

al-Mubarakfuri menjelaskan makna ‘ memperbaiki ajaranku yang telah dirusak oleh manusia-manusia’ yaitu : “Mereka mengamalkan ajaran/sunnah tersebut dan mereka menampakkannya sekuat kemampuan mereka.” (Tuhfat al-Ahwadzi [6/428] as-Syamilah). al-Mubarakfuri juga menjelaskan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di atas bersatus lemah dikarenakan terdapat seorang periwayat yang bernama Katsir bin Abdullah bin Amr bin Auf al-Muzani. al-Mubarakfuri berkata, “Katsir ini adalah periwayat yang lemah menurut banyak ulama ahli hadits, bahkan menurut mayoritas mereka. Sampai-sampai Ibnu Abdi al-Barr mengatakan, ‘Orang ini telah disepakati akan kedha’ifannya’.” Maka keterangan beliau ini menyanggah at-Tirmidzi yang menghasankan hadits di atas (lihat Tuhfat al-Ahwadzi [6/428] as-Syamilah).

Syaikh Salim al-Hilali hafizhahullah berkata, “…tidak ada riwayat yang sah mengenai penafsiran [Nabi] tentang makna al-Ghuraba’ (orang-orang asing) selain dua tafsiran yang marfu’ yaitu : [1] Orang-orang yang [tetap] baik tatkala masyarakat telah diliputi kerusakan. [2] Orang-orang salih yang hidup di tengah-tengah banyak orang yang buruk [agamanya], akibatnya orang yang menentang mereka lebih banyak daripada yang mengikuti mereka.” (Limadza ikhtartul manhaj salafi, hal. 55).

Maka maksud dari kata “al-Ghuroba” adalah orang-orang yang istiqomah, yang tetap berbuat bagi ketika manusia telah rusak, merekalah manusia yang dijanjikan syurga dan kebahagiaan. Mereka istiqomah dengan agama Allah, dan memurnikan tauhid serta mengikhlaskan ibadah mereka hanya kepada Allah. Merekalah orang-orang yang senantiasa menjaga sholat, membayar zakat, berpuasa dan berhaji serta amalan lainnya yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Bahkan Allah mensifati mereka dalam Al-Quran,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُون نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung kalian dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan apa yang kamu minta.” [QS. Fushilat 30-31]
Adapun Islam, pada awal perkembangnya sangat sedikit pengikutnya dan dianggap aneh oleh penduduk kota Mekkah. Sangat sedikit orang-orang yang beriman pada saat itu bahkan kebanyakan manusia saat itu mengolok-olok Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengusirnya, mengancam bahkan sangat berkeinginan membunuhnya.
Setelah turunnya perintah hijrah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam pun berpindah mengembangkan agama Allah di Madinah, dengan kondisi sedikit berbeda jika dibandingkan dengan di kota Mekkah. Namun, Islam tetap dianggap aneh hingga akhirnya orang-orang banyak yang memeluk Islam.
Dan pada zaman sekarang ini, banyak manusia telah menjauhkan diri mereka dari agama Allah, banyaknya kemaksiatan dan kemusyrikan, bahkan orang-orang Islam sendiri telah banyak meninggalkan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam kondisi kehidupan yang demikian rusaknya, orang-orang yang tetap istiqomah taat kepada Allah dan menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka itulah al-Ghuroba’ yang dijanjikan syurga serta kebahagiaan di dunia dan akhirat.
SEMOGA KITA BISA MASUK DALAM GENERASI INI. AMIN.
di ambil dari berbagai sumber.
Abu Hudzaifah Al Faruqy
Makassar, 17 Muharram 1432 H 11:40 AM
Ulil Albab UNM Parangtambung


0 komentar:

Posting Komentar